Thursday, October 15, 2009

Bersentuhan dengan istri tidak batal


Benarkah Isteri Termasuk Bukan Mahram? Rabu, 22 Agu 07 05:53 WIB kirim teman Assalamu'alaiku pak ustadz. Saya mau menanyakan apakah benar bahwa wanita yang telah menjadi isteri kita bukan muhrim kita sehingga jika kita bersentuhan dengannya dalam keadaan suci (berwudhu) maka batal wudhunya. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas jawaban yang diberikan. Wassalamu'alaikum Anru Jakarta Jawaban Assalamu 'alaikum warahamtullahi wabarakatuh, Ungkapan bahwa isteri kita bukan mahram kita mungkin perlu diperjelas maksud dan pengertiannya. Mengingat istilah mahram yang digunakan dalam hubungan suami isteri berbeda hukumnya dengan istilah mahram sebagaimana umumnya. Misalnya, seorang laki-laki dengan wanita yang bukan mahramnya dilarang untuk berduaan (khalwat), sedangkan seorang suami justru boleh berduaan, bahkan bersentuhan hingga melakukan hubungan suami isteri. Dari sisi ini saja sudah jelas bahwa hukum mahram antar keduanya berbeda. Mahram itu pada dasarnya bermakna wanita yang haram untuk dinikahi untuk selamanya. Misalnya ibu, nenek, saudara kandung, bibi, keponakan dan seterusnya. Sebagai wanita yang haram dinikahi, maka ada ada kebolehan untuk terlihat sebagian aurat, juga ada kebolehan untuk berduaan, sentuhan kulit dan seterusnya. Sedangkan istilah 'bukan mahram' bermakna wanita yang boleh dinikahi. Namun selama belum dinikahi, ada larangan-larangan, yaitu tidak boleh berduaan, bersentuhan kulit dan lainnya. Kalau sudah dinikahi, maka semua larangan itu menjadi tidak berlaku. Dan biasanya, istilah bukan mahram sudah tidak berlaku lagi. Apakah sentuhan kulit suami isteri membatalkan wudhu'? Ini adalah pertanyaan klasik, di mana jawabannya pun tidak kalah klasiknya. Karena sebenarnya jawabannya memang bisa diduga, yaitu terjadi khilaf di kalangan para ulama. Sebagian ulama memandang bahwa seorang suami yang menyentuh kulit isterinya membatalkan wudhu'nya. Sebagian ulama lainnya berpandangan sebaliknya. 1. Pendapat Yang Membatalkan Mereka yang memandang bahwa sentuhan kulit antara suami isteri berdalil dengan beberapa dasar, di antaranya: وصرح ابن عمر بأن من قبل امرأته أو جسمها بيده فعليه الوضوء. رواه عنه مالك والشافعي.ورواه البيهقي عن ابن مسعود بلفظ " القبلة من اللمس وفيها الوضوء. واللمس ما دون الجماع." Ibnu Umar berkata bahwa orang yang mencium isterinya atau menyentuh tubuhnya, maka dia harus berwudhu'. Hadits ini diriwayatkan oleh Malik dan Asy-Syafi'i. Dari Ibnu a'sud ra berkata, "Mencium isteri itu termasuk menyentuh dan mengharuskan wudhu'. Dan menyentuh itu segala yang belum sampai jima' (HR Al-Baihaqi) Selain itu mereka juga berdalil dengan apa yang anda tanyakan di atas, yaitu hubungan suami isteri yang sebelumnya bukan mahram, akan tetap terus tidak mahram meski sudah menikah. Dan konsekuensinya, sentuhan antara mereka akan membatalkan wudhu'. 2. Pendapat Yang Tidak Membatalkan Sedangkan mereka yang berpendapat bahwa antara suami isteri tidak batal wudhu' bila bersentuhan, mendasarkan pandangan mereka pada beberapa dalil berikut ini: روي أحمد والأربعة رجاله ثقات، عن عائشة رضي الله عنها " أن النبي صلى الله عليه وسلم قبل بعض نسائه ثم خرج إلى الصلاة ولم يتوضأ." Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW mencium para isterinya kemudian beliau keluar untuk shalat dan tidak berwudhu' lagi (HR Ahmad) وعنها رضي الله عنها قالت: كنت أنام بين يدي النبي صلى الله عليه وسلم، ورجلاى في قبلته، فاذا سجد غمزني، فقبضت رجلي متفق عليه Dari Aisyah ra berkata, "Aku pernah tidur di hadapan nabi SAW, sedangkan kedua kakiku berada di arah kiblatnya. Bila beliau sujud, beliau menyingkirkan dan memegang kedua kakiku (HR Bukhari dan Muslim) وأخرج اسحاق بن راهويه، وأيضاً البزار بسند جيد، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قبلها وهو صائم، وقال: "إن القبلة لا تنقض الوضوء ، ولا تفطر صائم." Ishaq bin Rahawaih dan Al-Bazzar dengan sanad yang baik meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mencium isterinya dalam keadaan puasa, lalu beliau berkata, "Sesungguhnya mencium itu tidak membatalkan wudhu' dan tidak membatalkan puasa. Namun mereka semua dalil ini disanggah oleh kelompok pertama dengan beberapa hujjah, misalnya bahwa apa yang terjadi antara nabi SAW dengan para isterinya merupakan suatu kekhusususan, tidak berlaku buat umatnya. Pendeknya, apa yang anda tanyakan itu secara hukum masih menjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ada yang mengatakan sentuhan suami isteri membatalkan wudhu dan ada yang berpendapat sebaliknya.
Wallahu a'la bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
GardaSantriBergabung : 22-12-2008Kiriman : 10Lokasi : Depok
Dikirim : Senin, 22 Desember 2008 @ 11:38

Jangan mengharamkan sesuatu yang hukumnya halal dan Jangan menghalalkan sesuatu yang sudah di haramkan...
Pembatal-Pembatal Wudhu
Penulis : Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsari
Wudhu sebagai rangkaian ibadah yang tidak dapat dipisahkan dari shalat seorang hamba dapat batal karena beberapa perkara. Hal-hal yang bisa membatalkan ini diistilahkan dalam fiqih Nawaqidhul Wudhu (pembatal-pembatal wudhu). Wudhu yang telah batal akan membatalkan pula shalat seseorang sehingga mengharuskannya untuk berwudhu kembali
Nawaqidhul wudhu ini ada yang disepakati oleh ulama karena adanya sandaran dalil dari Al- Qur’an dan As-Sunnah dan telah terjadinya ijma’ di antara mereka tentang permasalahan tersebut. Ada juga yang diperselisihkan oleh mereka keberadaannya sebagai pembatal wudhu ataupun tidak. Hal ini disebabkan tidak adanya dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta tidak terjadinya ijma’ sehingga kembalinya perkara ini kepada ijtihad masing-masing ahlul ilmi.
Pembatal wudhu yang disepakati
1. Kencing (buang air kecil/BAK)
Abu Hurairah radhiallahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ، إِذَا أَحْدَثَ، حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Al-Bukhari no. 135)
Hadits ini menunjukkan bahwa hadats kecil ataupun besar merupakan pembatal wudhu dan shalat seorang, dan kencing termasuk hadats kecil.
2.Buang Air Besar
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam ayat wudhu ketika menyebutkan perkara yang mengharuskan wudhu (bila seseorang hendak mengerjakan shalat):
أَوْ جآءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغآئِطِ
“Atau salah seorang dari kalian kembali dari buang air besar…” (Al-Maidah: 6)
Dengan demikian bila seseorang buang air besar (BAB) batallah wudhunya.
3. Keluar angin dari dubur (kentut)
Angin yang keluar dari dubur (kentut) membatalkan wudhu, sehingga bila seseorang shalat lalu kentut, maka ia harus membatalkan shalatnya dan berwudhu kembali lalu mengulangi shalatnya dari awal.
Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim Al-Mazini radhiallahu 'anhu berkata: “Diadukan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang seseorang yang menyangka dirinya kentut ketika ia sedang mengerjakan shalat. Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا
“Jangan ia berpaling (membatalkan shalatnya) sampai ia mendengar bunyi kentut (angin) tersebut atau mencium baunya.” (HR. Al-Bukhari no. 137 dan Muslim no. 361)
Abu Hurairah radhiallahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ، إِذَا أَحْدَثَ، حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Bukhari no. 135)
Mendengar penyampaian Abu Hurairah radhiallahu 'anhu ini, berkatalah seorang lelaki dari Hadhramaut: “Seperti apa hadats itu wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab: “Angin yang keluar dari dubur (kentut) yang bunyi maupun yang tidak bunyi.”
Sementara perkataan Abu Hurairah ini dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah, beliau berkata: “Abu Hurairah menjelaskan tentang hadats dengan perkara yang paling khusus (yaitu angin dari dubur) sebagai peringatan bahwa angin dari dubur ini adalah hadats yang paling ringan sementara di sana ada hadats yang lebih berat darinya. Dan juga karena angin ini terkadang banyak keluar di saat seseorang melaksanakan shalat, tidak seperti hadats yang lain.” (Fathul Bari, 1/296)
Hadits ini dijadikan dalil bahwa shalat seseorang batal dengan keluarnya hadats, sama saja baik keluarnya dengan keinginan ataupun terpaksa. (Fathul Bari, 1/269)
Aisyah radhiallahu 'anha berkata: Salma, maula Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam atau istrinya Abu Rafi‘ maula Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, datang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia mengadukan Abu Rafi’ yang telah memukulnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun bertanya kepada Abu Rafi’: “Ada apa engkau dengan Salma, wahai Abu Rafi‘?” Abu Rafi‘ menjawab: “Ia menyakitiku, wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Dengan apa engkau menyakitinya wahai Salma?” Kata Salma: “Ya Rasulullah, aku tidak menyakitinya dengan sesuatupun, akan tetapi ia berhadats dalam keadaan ia sedang shalat, maka kukatakan padanya: ‘Wahai Abu Rafi‘, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kaum muslimin, apabila salah seorang dari mereka kentut, ia harus berwudhu.’ Abu Rafi‘ pun bangkit lalu memukulku.” Mendengar hal itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tertawa seraya berkata: “Wahai Abu Rafi‘, sungguh Salma tidak menyuruhmu kecuali kepada kebaikan.” (HR. Ahmad 6/272, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Al-Jami’ush Shahih, 1/521)
Adapun orang yang terus menerus keluar hadats darinya seperti penderita penyakit beser (kencing terus menerus) (Al-Fatawa Al-Kubra, Ibnu Taimiyah t, 1/282) atau orang yang kentut terus menerus atau buang air besar terus menerus maka ia diberi udzur di mana thaharahnya tidaklah dianggap batal dengan keluarnya hadats tersebut. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/221)
4. Keluar Madzi
Keluarnya madzi termasuk pembatal wudhu sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu. Ali berkata: “Aku seorang yang banyak mengeluarkan madzi, namun aku malu untuk bertanya langsung kepada Rasullah Shallallahu 'alaihi wa sallam karena keberadaan putrinya (Fathimah radhiallahu 'anha) yang menjadi istriku. Maka akupun meminta Miqdad ibnul Aswad radhiallahu 'anhu untuk menanyakannya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pun menjawab:
يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ
“Hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu.” (HR. Al-Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303)
5. Keluar Wadi
Keberadaan wadi sama halnya dengan madzi atau kencing sehingga keluarnya membatalkan wudhu seseorang.
6. Keluar Darah Haid dan Nifas
Darah haid dan nifas yang keluar dari kemaluan (farji) seorang wanita adalah hadats besar yang karenanya membatalkan wudhu wanita yang bersangkutan. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah di atas tentang batalnya wudhu karena hadats. Dan selama masih keluar darah haid dan nifas ini diharamkan baginya mengerjakan shalat, puasa dan bersenggama dengan suaminya sampai ia suci.
Dikecualikan bila darah dari kemaluan itu keluar terus menerus di luar waktu kebiasaan haid dan bukan disebabkan melahirkan, seperti pada wanita yang menderita istihadhah, karena wanita yang istihadhah dihukumi sama dengan wanita yang suci sehingga ia tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus keluar. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Bila si wanita yang menderita istihadhah itu ingin berwudhu untuk shalat hendaknya ia mencuci terlebih dahulu kemaluannya dari bekas darah dan menahan keluarnya darah dengan kain.” (Risalah fid Dima’ Ath-Thabi’iyyah Lin Nisa, hal. 50)
7. Keluarnya Mani
Seseorang yang keluar maninya wajib baginya mandi, tidak cukup hanya berwudhu, karena dengan keluarnya mani seseorang dia dihukumi dalam keadaan junub/ janabah yang berarti dia telah hadats besar. Berbeda dengan kencing, BAB, keluar angin, keluar madzi dan wadi yang merupakan hadats kecil sehingga dicukupkan dengan wudhu.
8. Jima’ (senggama)
Abu Hurairah radhiallahu 'anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ، ثُمَّ جَهَدَهَا، فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila seorang suami telah duduk di antara empat cabang istrinya kemudian dia bersungguh- sungguh padanya (menggauli istrinya), maka sungguh telah wajib baginya untuk mandi (janabah).” (HR. Al-Bukhari no. 291 dan Muslim no. 348)
Dalam riwayat Muslim ada tambahan:
وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ
“Sekalipun ia tidak keluar mani.”
Dari hadits di atas kita pahami bila jima‘ (senggama) sekalipun tidak sampai keluar mani menyebabkan seseorang harus mandi, sehingga jima‘ perkara yang membatalkan wudhu.
Pembatal wudhu yang diperselisihkan
Dalam masalah fiqhiyyah baik itu fiqh ibadah ataupun fiqh muamalah sering sekali kita dapati perselisihan di antara ahlul ilmi. Hal ini disebabkan tersamarnya dalil yang jelas dalam pengetahuan mereka, baik dari Al-Qur’an ataupun dari hadits dan karena satu keadaan dimana masing-masing mereka harus berijtihad terhadap permasalahan yang ada, sehingga timbullah beragam pandangan. Permasalahan ini sebetulnya bukan permasalahan yang baru karena sejak zaman sahabat kita dapati mereka berselisih dalam beberapa masalah fiqhiyyah dan diikuti oleh zaman setelahnya dari kalangan para imam. Walaupun kita dapati mereka berselisih dalam berbagai permasalahan, namun mereka terhadap satu dengan yang lainnya saling berlapang dada selama perkara itu bukanlah perkara yang ganjil yang menyelisihi pendapat yang ma‘ruf (atau meyelisihi ijma’), walaupun juga dalam banyak permasalahan kita dapati mereka bersepakat di atasnya.
Demikianlah yang ingin kami utarakan sebelum masuk ke dalam masalah yang diperselisihkan di sini, yang mana mungkin penulis berbeda pandangan dalam menguatkan satu permasalahan dengan pembaca, sehingga bila didapati hal yang demikian hendaknya kita berlapang dada. Tentunya dengan tidak menolak pandangan yang ada selama itu adalah ma’ruf di kalangan ahlul ilmi salafus shalih. Mungkin penulis memberikan contoh waqi‘iyyah (kenyataan) yang penulis sendiri mengalaminya (yang terkenang di sisi penulis). Suatu ketika penulis shalat berdampingan dalam satu shaf dengan guru kami Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muqbil rahimahullah. Pada waktu itu penulis berpandangan menggerak-gerakkan jari dalam tasyahud karena memilih pendapat tahrik (menggerak-gerakkan jari) sesuai dengan pendapat yang ma’ruf. Sementara guru kami adalah orang yang sangat keras melemahkan hadits dalam masalah tahrik ini dan memandangnya syadz (ganjil). Namun selesai shalat beliau rahimahullah tidak memaksakan pendapatnya kepada penulis dalam keadaan beliau berkuasa untuk memaksa dan melakukan penekanan. Bahkan yang ada dalam berbagai majelis beliau berbangga dengan keberadaan murid-muridnya yang tidak taqlid (mengikut tanpa dalil) kepada beliau tapi berpegang dengan dalil sekalipun harus berbeda pandangan dengan beliau rahimahullah rahmatan wasi‘atan.
1. Menyentuh wanita
Ahlul ilmi terbagi dalam dua pendapat dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسآءَ
“Atau kalian menyentuh wanita …” (An-Nisa: 43)
Pertama: sebagian mereka menafsirkan “menyentuh” dengan jima’ (senggama), seperti pendapat Ibnu ‘Abbas, ‘Ali, ‘Ubay bin Ka’b, Mujahid, Thawus, Al-Hasan, ‘Ubaid bin ‘Umair, Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Qatadah dan Muqatil bin Hayyan. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)
Kedua: ahlul ilmi yang lain berpendapat “menyentuh” di sini lebih luas/ umum daripada jima’ sehingga termasuk di dalamnya menyentuh dengan tangan, mencium, bersenggolan, dan semisalnya. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar dari kalangan shahabat. Abu ‘Utsman An-Nahdi, Abu ‘Ubaidah bin Abdillah bin Mas’ud, ‘Amir Asy- Sya’bi, Tsabit ibnul Hajjaj, Ibrahim An-Nakha’i dan Zaid bin Aslam. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)
Adapun pendapat pertama, bila seseorang menyentuh wanita dengan tangannya atau dengan seluruh tubuhnya selain jima’ maka tidaklah membatalkan wudhu.
Sedangkan pendapat kedua menunjukkan sekedar menyentuh wanita, walaupun tidak sampai jima’, membatalkan wudhu.
Dari dua penafsiran di atas yang rajih adalah penafsiran yang pertama bahwa yang dimaksud dengan menyentuh dalam ayat di atas adalah jima’ sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam Al- Qur’an sendiri1 dan juga dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa semata-mata bersentuhan dengan wanita (tanpa jima’) tidaklah membatalkan wudhu.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Yang dimaukan (oleh ayat Allah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini) adalah jima’, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma dan selainnya dari kalangan Arab. Dan diriwayatkan hal ini dari ‘Ali radhiallahu 'anhu dan selainnya. Inilah yang shahih tentang makna ayat ini. Sementara menyentuh wanita (bukan jima’) sama sekali tidak ada dalilnya dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menunjukkan bahwa hal itu membatalkan wudhu. Adalah kaum muslimin senantiasa bersentuhan dengan istri-istri mereka namun tidak ada seorang muslim pun yang menukilkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan kepada seseorang untuk berwudhu karena menyentuh para wanita (istri).”
Beliau juga berkata: “Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan Al-Hasan bahwa menyentuh di sini dengan tangan dan ini merupakan pendapat sekelompok salaf. Adapun apabila menyentuh wanita tersebut dengan syahwat, tidaklah wajib berwudhu karenanya, namun apabila dia berwudhu, perkara tersebut baik dan disenangi (yang tujuannya) untuk memadamkan syahwat sebagaimana disenangi berwudhu dari marah untuk memadamkannya. Adapun menyentuh wanita tanpa syahwat maka aku sama sekali tidak mengetahui adanya pendapat dari salaf bahwa hal itu membatalkan wudhu.” (Majmu’ Al-Fatawa, 21/410)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Pendapat yang rajih adalah menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak, sama saja baik dengan syahwat atau tidak dengan syahwat kecuali bila keluar sesuatu darinya (madzi atau mani). Bila yang keluar mani maka wajib baginya mandi sementara kalau yang keluar madzi maka wajib baginya mencuci dzakar-nya dan berwudhu.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail, 4/201, 202)
Dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan bahwa bersentuhan dengan wanita (selain jima’) tidaklah membatalkan wudhu di antaranya:
Aisyah radhiallahu 'anha berkata:
كُنْتُ أَناَمُ بَيْنَ يَدَي رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ، فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ، فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهَا
“Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan kedua kaki di arah kiblat beliau (ketika itu beliau sedang shalat, pen) maka bila beliau sujud, beliau menyentuhku (dengan ujung jarinya) hingga aku pun menekuk kedua kakiku. Bila beliau berdiri, aku kembali membentangkan kedua kakiku.” (HR. Al-Bukhari no. 382 dan Muslim no. 512)
Aisyah radhiallahu 'anha juga mengabarkan:
فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَلْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُوْلُ: اللّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“Suatu malam, aku pernah kehilangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari tempat tidurku. Maka aku pun meraba-raba mencari beliau hingga kedua tanganku menyentuh bagian dalam kedua telapak kaki beliau yang sedang ditegakkan. Ketika itu beliau di tempat shalatnya (dalam keadaan sujud) dan sedang berdoa: Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu dan dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, aku tidak dapat menghitung pujian atas-Mu, Engkau sebagaimana yang Engkau puji terhadap diri-Mu.” (HR. Muslim no. 486)
2. Muntah
Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa muntah mengharuskan seseorang untuk berwudhu dengan dalil hadits Ma’dan bin Abi Thalhah dari Abu Ad-Darda bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah muntah, lalu beliau berbuka dan berwudhu. Kata Ma’dan: “Aku berjumpa dengan Tsauban di masjid Damaskus, maka aku sebutkan hal itu padanya, Tsauban pun berkata: “Abu Ad-Darda benar, akulah yang menuangkan air wudhu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.” (HR. At-Tirmidzi no. 87)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Al-Baihaqi mengatakan bahwa hadits ini diperselisihkan (mukhtalaf) pada sanadnya. Kalaupun hadits ini shahih maka dibawa pemahamannya pada muntah yang sengaja.” Di tempat lain Al-Baihaqi berkata: “Isnad hadits ini mudhtharib (goncang), tidak bisa ditegakkan hujjah dengannya.” (Nailul Authar, 1/268). Asy- Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah di dalam ta’liq beliau terhadap kitab Ar-Raudhatun Nadiyyah mengatakan: “Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam masalah batalnya wudhu karena muntah adalah lemah semuanya, tidak dapat dijadikan hujjah.” (ta’liq beliau dinukil dari Ta’liqat Ar- Radhiyyah, 1/174)2
Ulama berselisih pendapat dalam masalah muntah ini:
- Di antara mereka ada yang berpendapat muntah itu membatalkan wudhu seperti Abu Hanifah dan pengikut mazhab Abu Hanifah, dengan syarat muntah itu berasal dari dalam perut, memenuhi mulut dan keluar sekaligus. (Nailul Authar, 1/268)
Al-Imam At-Tirmidzi t berkata: “Sebagian ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan selain mereka dari kalangan tabi’in berpandangan untuk berwudhu disebabkan muntah dan mimisan. Demikian pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad dan Ishaq. Sementara sebagian ahlul ilmi yang lainnya berpendapat tidak ada keharusan berwudhu karena muntah dan mimisan, demikian pendapat Malik dan Asy-Syafi’i. (Sunan At-Tirmidzi, 1/59)
- Adapun ulama yang lain seperti 7 imam yang faqih dari Madinah, Asy-Syafi‘i dan orang-orang yang mengikuti mazhab Asy-Syafi’i, juga satu riwayat dari Al-Imam Ahmad menunjukkan bahwa keluar sesuatu dari tubuh selain qubul dan dubur tidaklah membatalkan wudhu, baik sedikit ataupun banyak, kecuali bila yang keluar dari tubuh itu kencing ataupun tahi. (Nailul Authar, 1/268, Asy-Syarhul Mumti’, 1/234). Inilah pendapat yang rajih dan menenangkan bagi kami. Mereka berdalil sebagai berikut:
1. Hukum asal perkara ini tidaklah membatalkan wudhu. Sehingga barangsiapa yang menyatakan suatu perkara menyelisihi hukum asalnya maka hendaklah ia membawakan dalil.
2. Sucinya orang yang berwudhu dinyatakan dengan pasti oleh kandungan dalil syar‘i, maka apa yang telah pasti tidaklah mungkin mengangkat kesuciannya (menyatakan hilang/ membatalkannya) kecuali dengan dalil syar‘i.
3. Hadits yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama telah dilemahkan oleh mayoritas ulama.
4. Apa yang ditunjukkan dalam hadits ini adalah semata-mata fi‘il (perbuatan) sedangkan yang semata-mata fi‘il tidaklah menunjukkan suatu yang wajib. (Asy-Syarhul Mumti‘, 1/224-225)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Tidaklah batal wudhu dengan keluarnya sesuatu dari selain dua jalan (qubul dan dubur) seperti pendarahan, darah yang keluar karena berbekam, muntah dan mimisan, sama saja baik keluarnya banyak ataupun sedikit.3 Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Abi Aufa, Jabir, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Ibnul Musayyab, Salim bin Abdillah bin ‘Umar, Al-Qasim bin Muhammad, Thawus, ‘Atha, Mak-hul, Rabi’ah, Malik, Abu Tsaur dan Dawud. Al-Baghawi berkata: “Ini merupakan pendapat mayoritas shahabat dan tabi`in.” (Al- Majmu’, 2/63)
Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’atur Rasail Al-Kubra, beliau berpendapat hukumnya di sini adalah sunnah sebagaimana dinukilkan oleh Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah. Demikian juga beliau menyatakan sunnahnya berwudhu setelah muntah. (Tamamul Minnah, hal. 111, 112)
Sementara hadits ‘Aisyah radhiallahu 'anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَصَابَهَ قَيْءٌ أَوْ رُعَافٌ أَوْ قَلَسٌ أَوْ مَذِيٌ فَلْيَنْصَرِفْ، فَلْيَتَوَضَّأْ...
“Siapa yang ditimpa (mengeluarkan) muntah, mimisan, qalas4 atau madzi (di dalam shalatnya) hendaklah ia berpaling dari shalatnya lalu berwudhu.” (HR. Ibnu Majah no. 1221)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Hadits ini dinyatakan cacat oleh sebagian Ahlul Hadits karena setiap periwayatan Isma’il ibnu ‘Iyasy dari orang-orang Hijaz semuanya dinilai lemah. Sementara dalam hadits ini Isma’il meriwayatkan dari Ibnu Juraij yang dia itu orang Hijaz. Juga karena para perawi yang meriwayatkan dari Ibnu Juraij –yang mereka itu adalah para tokoh penghapal– meriwayatkannya secara mursal (menyelisihi periwayatan Isma’il yang meriwayatkannya secara ittishal (bersambung) – pen.), sebagaimana hal ini dikatakan oleh penulis kitab Muntaqal Akhbar. Terlebih lagi riwayat yang mursal ini dinyatakan shahih oleh Adz- Dzuhli, Ad-Daruquthni dalam kitab Al-’Ilal, begitu pula Abu Hatim dan beliau mengatakan telah terjadi kesalahan dalam periwayatan Isma’il. Ibnu Ma’in berkata hadits ini dha’if. (Nailul Authar, 1/269)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa Al-Imam Ahmad dan selain beliau men- dha’if-kan hadits ini (Bulughul Maram hal. 36)
3. Darah yang keluar dari tubuh
Darah yang keluar dari tubuh seseorang, selain kemaluannya tidaklah membatalkan wudhu, sama saja apakah darah itu sedikit ataupun banyak. Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu Abi Aufa, Abu Hurairah, Jabir bin Zaid, Ibnul Musayyab, Mak-hul, Rabi’ah, An-Nashir, Malik dan Asy- Syafi’i. (Nailul Authar, 1/269-270). Dan ini pendapat yang rajih menurut penulis. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Dari kalangan ahlul ilmi ada yang membedakan antara darah sedikit dengan yang banyak. Bila keluarnya sedikit tidak membatalkan wudhu namun bila keluarnya banyak akan membatalkan wudhu. Hal ini seperti pendapat Abu Hanifah, Al-Imam Ahmad dan Ishaq. (Nailul Authar, 1/269)
Adapun dalil bahwa darah tidak membatalkan wudhu adalah hadits tentang seorang shahabat Al- Anshari yang tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus mengalir karena luka akibat tikaman anak panah pada tubuhnya (HR. Al-Bukhari secara mu‘allaq dan secara maushul oleh Al- Imam Ahmad, Abu Dawud dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 193).
Seandainya darah yang banyak itu membatalkan wudhu niscaya shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu dilarang untuk mengerjakan shalat dan akan disebutkan teguran dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atas shalat yang ia kerjakan tersebut dan akan diterangkan kepadanya atau siapa yang bersamanya. Karena mengakhirkan penjelasan/ penerangan pada saat dibutuhkan penerangannya tidaklah diperbolehkan. Mereka para shahabat radhiallahu 'anhum sering terjun ke dalam medan pertempuran hingga badan dan pakaian mereka berlumuran darah. Namun tidak dinukilkan dari mereka bahwa mereka berwudhu karenanya dan tidak didengar dari mereka bahwa perkara ini membatalkan wudhu. (Sailul Jarar, 1/262, Tamamul Minnah, hal. 51-52)
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah.
1 Seperti dalam ayat: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi wanita-wanita mukminah kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh mereka, maka tidak ada kewajiban bagi mereka untuk menjalani iddah.” (Al-Ahzab: 49)
Ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa menyentuh yang dikaitkan dengan wanita maka yang dimaksudkan adalah jima’.
2 Di antara imam ahlul hadits ada juga yang menguatkan hadits ini seperti Ibnu Mandah dan Asy- Syaikh Al-Albani di Tamamul Minnah, beliau mengatakan sanadnya shahih (hal. 111)
3 Adapun permasalahan yang disebutkan di sini juga merupakan perkara yang diperselisihkan ahlul ilmi sebagaimana disebutkan sendiri oleh Al-Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu‘ (2/63).
4 Qalas adalah muntah yang keluar dari tenggorokan, bukan dari perut. (Subulus Salam, 1/105)
Apakah Menyentuh Wanita Membatalkan Wudhu’?
Penulis : Ustadz Abu Ishaq Muslim
Ustadz yang saya hormati, saya ingin menanyakan satu permasalahan. Di daerah saya banyak orang yang mengaku mengikuti madzhab Syafi'iyah, dan saya lihat mereka ini sangat fanatik memegangi madzhab tersebut. Sampai-sampai dalam permasalahan batalnya wudhu' seseorang yang menyentuh wanita. Mereka sangat berkeras dalam hal ini. Sementara saya mendengar dari ta'lim-ta'lim yang saya ikuti bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu'. Saya jadi bingung, Ustadz. Oleh karena itu, saya mohon penjelasan yang gamblang dan rinci mengenai hal ini, dan saya ingin mengetahui fatwa dari kalangan ahlul ilmi tentang permasalahan ini. Atas jawaban Ustadz, saya ucapkan Jazakumullah khairan katsira.
(Abdullah di Salatiga)
Jawab:
Masalah batal atau tidaknya wudhu' seorang laki-laki yang menyentuh wanita memang diperselisihkan di kalangan ahlul ilmi. Ada diantara mereka yang berpendapat membatalkan wudhu' seperti Imam Az-Zuhri, Asy-Sya'bi, dan yang lainnya. Akan tetapi pendapat sebagian besar ahlul ilmi, di antaranya Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan ini yang rajih (kuat) dalam permasalahan ini, tidak batal wudhu' seseorang yang menyentuh wanita. Wallahu ta'ala a'lam bish-shawab.
Syaikh Muqbil rahimahullahu ta'ala pernah ditanya dengan pertanyaan yang serupa dan walhamdulillah beliau memberikan jawaban yang gamblang. Sebagaimana yang Saudara harapkan untuk mengetahui fatwa ahlul ilmi tentang permasalahan ini, kami paparkan jawaban Syaikh sebagai jawaban pertanyaan Saudara. Namun, di sana ada tambahan penjelasan dari beliau yang Insya Allah akan memberikan tambahan faidah bagi Saudara. Kami nukilkan ucapan beliau dalam Ijabatus Sa-il hal. 32-33 yang nashnya sebagai berikut :
Beliau ditanya:
"Apakah menyentuh wanita membatalkan wudlu', baik itu menyentuh wanita ajnabiyah (bukan mahram), istrinya ataupun selainnya?" Maka beliau menjawab: "Menyentuh wanita ajnabiyah adalah perkara yang haram, dan telah diriwayatkan oleh Imam at-Thabrani dalam Mu'jamnya dari Ma'qal bin Yasar radliyallahu 'anhu mengatakan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
"Sungguh salah seorang dari kalian ditusuk jarum dari besi di kepalanya lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya."
Diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam Shahih keduanya dari Abi Hurairah radliyallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Telah ditetapkan bagi anak Adam bagiannya dari zina, senantiasa dia mendapatkan hal itu dan tidak mustahil, kedua mata zinanya adalah melihat, kedua telinga zinanya adalah mendengarkan, tangan zinanya adalah menyentuh, kaki zinanya adalah melangkah, dan hati cenderung dan mengangankannya, dan yang membenarkan atau mendustakan semua itu adalah kemaluan."
Maka dari sini diketahui bahwa menyentuh wanita ajnabiyah tanpa keperluan tidak diperbolehkan. Adapun bila ada keperluan seperti seseorang yang menjadi dokter atau wanita itu sendiri adalah dokter, yang tidak didapati dokter lain selain dia, dan untuk suatu kepentingan, maka hal ini tidak mengapa, namun tetap disertai kehati-hatian yang sangat dari fitnah.
Mengenai masalah membatalkan wudhu' atau tidak, maka menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu' menurut pendapat yang benar dari perkataan ahlul ilmi. Orang yang berdalil dengan firman Allah 'azza wa jalla :
"Atau kalian menyentuh wanita"
Maka sesungguhnya yang dimaksud menyentuh di sini adalah jima' sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma.
Telah diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari di dalam Shahihnya dari 'Aisyah radliyallahu'anha, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam shalat pada suatu malam sementara aku tidur melintang di depan beliau. Apabila beliau akan sujud, beliau menyentuh kakiku. Dan hal ini tidak membatalkan wudhu' Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Orang-orang yang mengatakan bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu' berdalil dengan riwayat yang datang di dalam as-Sunan dari hadits Mu'adz bin Jabal radliyallahu 'anhu bahwa seseorang mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah mencium seorang wanita”. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam terdiam sampai Allah 'azza wa jalla turunkan:
"Dirikanlah shalat pada kedua tepi siang hari dan pada pertengahan malam. Sesungguhnya kebaikan itu dapat menghapuskan kejelekan."
Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya :
Berdirilah, kemudian wudhu' dan shalatlah dua rakaat.
Pertama, hadits ini tidak tsabit (kokoh) karena datang dari jalan 'Abdurrahman bin Abi Laila, dan dia tidak mendengar hadits ini dari Mu'adz bin Jabal. Ini satu sisi permasalahan.
Kedua, seandainya pun hadits ini kokoh, tidak menjadi dalil bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu', karena bisa jadi orang tersebut dalam keadaan belum berwudhu'.
Ini merupakan sejumlah dalil yang menyertai ayat yang mulia bagi orang-orang yang berpendapat membatalkan wudhu', dan engkau telah mengetahui bahwa Ibnu 'Abbas radliyallahu 'anhuma menafsirkan ayat ini dengan jima'. Wallahul musta'an.

No comments:

Post a Comment